Permasalahan UU Guru dan Dosen



Permasalahan UU Guru dan Dosen yang sampai saat ini masih hangat dibicarakan adalah sebagai berikut:
1.      Standardisasi, mencakup:
·         Standardisasi penyelenggaraan pendidikan
Sampai saat ini cukup banyak penyelenggara pendidikan (yayasan-yayasan) yang tidak jelas keberadaannya. Dalam pelaksanaanya banyak lembaga pendidikan yang belum memenuhi standard mutu pelayanan pendidikan dan standard mutu pendidikan yang diharapkan. Hal ini disebabkan yayasan-yayasan tersebut terkesan memaksakan diri untuk mendirikan lembaga pendidikan, sehingga banyak lembaga pendidikan yang tidak layak, karena sarana dan prasarana pendidikan yang jauh dari memadai, guru yang tidak kompeten, organisasi yang tidak dikelola dengan baik dll.
·         Standardisasi kompetensi guru
Hal ini akan tercantum pada pasal 8 UU Guru dan Dosen yang menjelaskan tentang Sertifikat Profesi Pendidik.
Pasal 8 menyebutkan : ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.
Banyak pihak mengkhawatirkan program sertifikasi ini (yang diselenggarakan oleh LPTK) nantinya akan menimbulkan masalah baru di dunia pendidikan, terutama yang mengarah pada terciptanya lembaga yang menjadi sarang kolusi dan korupsi baru. Yang pada akhirnya akan memperburuk kondisi pendidikan bangsa.
Sedang semangat dari pasal ini adalah untuk meningkatkan kompetensi pendidik itu sendiri, serta berusaha lebih menghargai profesi pendidik.

2.      Kesejahteraan atau Tunjangan
3.      Oraganisasi profesi dan dewan kehormatan
4.      Perlindungan, mencakup:
·         Perlindungan hukum
·         Perlindungan profesi
·         Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja

Pemecahan masalah dari uraian permasalahan di atas:
1.      Standardisasi
·         Standardisasi penyelenggaraan pendidikan
Dengan lahirnya UU Guru dan Dosen diharapkan dapat menjadi acuan untuk memperbaiki kualitas mutu pelayanan pendidikan di masyarakat baik itu negeri maupun swasta. Artinya penyelenggara pendidikan baik negeri maupun swasta harus mematuhi UU yang sudah disahkan.
·         Standardisasi kompetensi guru
Dengan sertifikasi diharapkan lebih menghargai profesi guru, dan meningkatkan mutu guru di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai langkah menjadikan guru sebagai tenaga profesional. Artinya guru wajib memiliki sertifikat pendidik dengan cara mengikuti program sertifikasi yang diselenggarakan oleh LPTK.

2.      Kesejahteraan atau Tunjangan
11 item Hak Guru yang tercantum pada pasal 14 UU Guru dan Dosen adalah bentuk penghargaan pemerintah dan masyarakat kepada guru. Untuk indikator penghasilan guru PNS sudah diatur Pasal 15 ayat 1.  Guru berhak untuk mendapatkan tunjangan, yaitu :
1.      Tunjangan profesi.
2.      Tunjangan Fungsional.
3.      Tunjangan Khusus.
Tiga jenis tunjangan diatas diatur dalam pasal 16,17 dan 18 UU Guru dan Dosen. Tunjangan profesi diberikan kepada guru baik guru PNS ataupun guru swasta yang telah memiliki sertifikat pendidik.
Disamping tunjangan diatas, guru juga berhak untuk memperoleh ”maslahat tambahan” yang tercantum dalam pasal 19 UU Guru dan Dosen. Maslahat Tambahan tersebut meliputi :
1.      Tunjangan pendidikan.
2.      Asuransi pendidikan.
3.      Beasiswa.
4.      Penghargaan bagi guru.
5.      Kemudahan bagi putra-putri guru untuk memperoleh pendidikan.
6.      Pelayanan kesehatan.
7.      Bentuk kesejahteraan lain.

3.      Oraganisasi profesi dan dewan kehormatan
Dengan lahirnya UU Guru dan Dosen ini diharapkan bida didirikan organisasi profesi yang dapat mewadahi (terutama) guru yang dapat menjalankan fungsinya sebagai orgnisasi profesi yang independent dan diharapkan dapat menjadi lembaga yang benar-benar memperjuangkan nasib guru. Demikian pula dengan dewan kehormatan yang tercipta dari organisasi profesi yang independent diharapkan menjadi penngawal pelaksanaan kode etik guru.

4.      Perlindungan
·         Perlindungan hukum
Perlindungan hukum mencakup perlindungan atas tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil.
·         Perlindungan profesi
Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pelecehan terhadap profesi serta pembatasan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
·         Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja
Perlindungan ini mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja atau resiko lain.

UU Guru dan Dosen mungkin masih harus di perdebatkan dalam rangka memperbaikinya di masa yang akan datang. Apalagi ada beberapa hal memang tidak serta merta dapat dilaksanakan. Pemberian tunjangan kepada seluruh guru, akan sangat terganturng anggaran pemerintah. Sehingga pada saat anggaran pendidikan belum mencapai 20% dari APBN maka akan sangat sulit dilaksanakan. Demikian pula dengan program sertifikasi dll, masih memerlukan proses untuk pelaksanaan dan mencapai tujuan yang diharapkan.
Namun diharapkan dengan adanya 2 (dua) undang-undang yaitu Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Guru dan Dosen diharapkan akan memperbaiki mutu pendidikan nasional secara keseluruhan.


Sumber: www.e-dukasi.net

UU Guru dan Dosen, FKIP Harus Berakhir.......

UU tentang guru dan dosen telah disahkan dua tahun lalu. Sebuah UU yang membawa semangat perubahan akan mutu pendidikan Indonesia. UU tersebut mengamanatkan adanya peningkatan kualitas profesionalisme pendidik dan tentu saja menjanjikan sebuah harapan bagi bangsa kita. Harapan peningkatan mutu pendidikan sekaligus mutu kehidupan pendidik.
Baca selengkapnya>>>

Sumber: www.slametwidodo.com

Mencoba Melihat Permasalahan BOPB Kaitannya Dengan Sistem Pendidikan Indonesia Secara Keseluruhan

Tentu kita masih ingat bahwa satu setengah tahun yang lalu, muncul sistem atau mekanisme pembayaran yang baru di Universitas yang menyandang nama bangsa ini, Universitas Indonesia. Sistem pembayaran yang dikenal dengan sitem pembayaran BOPB tersebut muncul dengan alasan utama, yaitu:
Baca selengkapnya>>>


Sumber: http://hmip-ui.blogspot.com/

UU Sistem Pendidikan Nasional

Sistem Pendidikan Nasional dan Permasalahannya
a. Masalah-Masalah Pendidikan Yang Ada Sekarang
Pendidikan kita sekarang ini setidak-tidaknya sedang dihadapkan pada empat masalah besar: masalah mutu, masalah pemerataan, masalah motivasi, dan masalah keterbatasan sumber daya dan sumber dana pendidikan.
1) Secara umum pendidikan kita sekarang ini tampaknya lebih menekankan pada akumulasi pengetahuan yang bersifat verbal dari pada penguasaan keterampilan, internalisasi nilai-nilai dan sikap, serta pembentukan ke-pribadian. Di samping itu kuantitas tampaknya lebih diutamakan dari pada kualitas. Persentase atau banyaknya lulusan lebih diutamakan daripada apa yang dikuasai atau bisa dilakukan oleh lulusan tersebut.
2) Pola motivasi sebagian besar peserta didik lebih bersifat maladaptif daripada adaptif. Pola motivasi maladaptif lebih berorientasi pada penampilan (performance) daripada pencapaian suatu prestasi (achievement) (Dweck, 1986), suatu bentuk motivasi yang lebih mengutamakan kulit luar daripada isi. Ijazah atau gelar lebih dipentingkan daripada substansi dalam bentuk sesuatu yang benar-benar dikuasai dan mampu dikerjakan.
3) Kualitas proses dan hasil pendidikan belum merata di seluruh tanah air. Masih ada kesenjangan yang cukup besar dalam proses dan hasil pendidikan di kota dan di luar kota, di Jawa dan di luar Jawa. Pendidikan kita sekarang ini masih belum berhasil meningkatkan kualitas hasil belajar sebagian besar peserta didik yang pada umumnya berkemampuan sedang atau kurang. Pendidikan kita mungkin baru berhasil meningkatkan kemam-puan peserta didik yang merupakan bibit unggul.
4) Pendidikan kita sekarang, juga masih dihadapkan pada berbagai kendala, khususnya kendala yang berkaitan dengan sarana/prasarana, sumberdana dan sumberdaya, di samping kendala administrasi dan pengelolaan. Administrasi serta sistem pengelolaan pendidikan kita pada hakikatnya masih bersifat sentra1istis yang sarat dengan beban birokrasi . O1eh karena itu persoa1an-persoa1an pendidikan masih sulit untuk ditangani secara cepat, efektif dan efisien.
Apabila kondisi pendidikan seperti ini berlangsung terus dan tidak bisa diubah, disangsikan apakah bangsa kita dapat bersaing dengan bangsa lain pada masa-masa yang akan datang . Dalam menghadapi persa-ingan dalam mengejar keunggulan, khususnya keunggulan dalam bidang ekonomi, manusia Indonesia baru bisa ditingkatkan kualitasnya. Manusia yang berkualitas hendaknya tidak diartikan sebagai manusia yang sekedar berpengetahuan luas, melainkan juga manusia yang terampil, ulet, kreatif, efisien dan efektif, sanggup bekerja keras, terbuka, bertanggung jawab, punya kesadaran nilai dan moral, di samping tentu saja beriman dan taqwa. Di samping itu, haruslah diupayakan agar sebagian besar manusia Indonesia dapat memiliki sifat-sifat tersebut. Sebagai suatu perbandingan, keberhasilan pendidikan Jepang terletak pada kesanggupannya meningkatkan kemampuan sebagian besar anak didik mereka dengan cara mendorong dan mengajar mereka bekerja keras sejak aval untuk mencapai prestasi yang maksimal dan tidak semata-mata mengandalkankan pada bakat dan kemampuan alamiah. Sebaliknya, pendidikan Amerika lebih mengandalkan hasil pendidikannya dari anak-anak yang memiliki kemampuan tinggi ( Gordon, 1987; Sidabalok, 1989 ).
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 telah meletakkan landasan bagi pembangunan sistem pendidikan nasional yang dapat dijadikan sebagai titik acuan dalam pengembangan pendidikan 1ebih lanjut. Apabila kita percaya bahwa kemampuan survival bangsa kita dimasa-masa yang akan datang ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang dimilikinya, begitu juga apabila kita percaya bahwa pendidikan merupakan cara terbaik untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, maka sistem pendidikan nasional harus diupayakan agar dapat memecahkan masalah serta mengatasi kendala-kendala yang disebutkan di atas.

b. Usaha-usaha ke arah pemecahan masalah
Sesuai dengan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tugas utama dalam pelaksahaan sistem pendidikan nasional kita adalah bagaimana meningkatkan kualitas proses pendidikan sehingga dapat menghasilkan tenaga kerja berkualitas yang kompetitif untuk bersaing setidak-tidaknya dengan tenaga kerja lain di kawasan Asia Tenggara. Perjuangan dalam meningkatkan mutu pendidikan menuntut adanya kerja keras dari semua tenaga kependidikan serta kerjasama antara sesama satuan pendidikan.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak secara eksplisit mengatur masalah mutu pendidikan, melainkan hanya menyebutkan faktor-faktor yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi mutu pendidikan, seperti: tujuan pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan, sumber daya pendidikan, kurikulum, evaluasi, pengelolaan dan pengawasan.
Mangieri (1985, hlm.1) menyebutkan 8 faktor yang paling sering disebut-sebut sebagai faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan. Kedelapan faktor tersebut adalah; kurikulum yang ketat, guru yang kompeten, ci-ri-ciri keefektifan, penilaian, keterlibatan orang tua dan dukungan masyarakat, pendanaan yang memadai, disiplin yang kuat, dan keterikatan pada ni1ai-ni1ai tradisiona1. Komisi nasional mengenai keunggulan dalam bidang pendidikan Amerika dalam laporannya yang terkenal berjudul A Nation at risk merekomendasikan bahwa keunggulan (exelence) dalam bidang pendidikan dapat diwujudkan me1a1ui cara-cara berikut: menambah banyaknya pekerjaan rumah, mengajar siswa sejak permu1aan keterampi1an belajar dan bekerja, melakukan pengelolaan kelas yang lebih baik, sehingga waktu sekolah bisa dimanfaatkan semaksima1 mungkin, menerapkan aturan yang tegas mengenai tingkah laku di sekolah dan mengurangi beban administrasi guru.
Persoa1an kedua ada1ah bagaimana mendemokratiskan sistem pendidikan dalam arti yang sesungguhnya. Semua pasal 4,5, dan 6 UU No. 20 Tahun 2003 mengatur agar sistem pendidikan nasiona1 kita memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga negara untuk mempero1eh pendidikan secara demokratis. Namun dalam praktek, kesempatan tersebut baru terbatas pada kesempatan yang sama dalam mempero1eh pendidikan yang cukup banyak diantaranya masih berkua1itas rendah be1um kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas tinggi. Pendidikan yang rendah kualitasnya tidak banyak artinya dalam kehidupan. Karena kualitas ditentukan oleh biaya, pendidikan yang berkualitas baru bisa diriikmati oleh sebahagian kecil warga negara yang memiliki kelebihan da1am kemampuan intelektua1 maupun kemampuan ekonomis.
Usaha untuk mendemokratiskan serta memeratakan kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan menstandardisasikan fasilitas lembaga penyelenggara pendidikan dan menye1enggarakan kewajiban belajar. Semua lembaga pendidikan yang sejenis, apakah lembaga pendidikan tersebut berada di Jawa atau di luar Jawa perlu diusahakan agar memiliki fasilitas pendidikan yang setara dan seimbang: antara lain dalam bentuk gedung yang memadai, perlengkapan serta peralatan belajar yang mencukupi, kualifikasi guru yang memenuhi syarat dengan sistem insentif yang mendorong kegairahan kerja, dan satuan pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata. Standarisasi fasilitas dan kondisi pendidikan diharapkan dapat menghasilkan standarisasi mutu. Dengan cara ini pada saatnya nanti , anak-anak yang berdomisili di luar Jawa tidak banyak lagi yang menginginkan bersekolah di Jawa, karena mutu pendidikan di daerah mereka setara atau malahan lebih tinggi dibandingkan dengan mutu pendidikan di Jawa.
Kewajiban belajar merupakan upaya lain untuk mendemokratiskan kesempatan memperoleh pendidikan. Melalui kewajiban belajar yang diselenggarakan dan dibiayai oleh negara, semua anak Indonesia akan memperoleh kesempatan untuk rnengikuti pendidikan sampai pada usia atau tingkat pendidikan tertentu. Melalui kewajiban belajar usaha untuk menaikkan tingkat pendidikan sebagian besar warga-negara dapat dilakukan secara lebih cepat. Pasal 34 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap warganegara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Sementara itu ayat 2 menegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Bahkan pada ayat 3 mengatakan bahwa wajib belajar itu merupakan tanggung jawab negara. Mengingat demikian vitalnya peranan kewajiban belajar dalam upaya peningkatan kemampuan warganegara, maka peraturan pemerintah yang akan mengatur pelaksanaanya perlu segera dikeluarkan, sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 4 pasal 34.
Sulit diterima kalau ada orang yang mengatakan bahwa anak-anak yang hidup pada masa sekarang ini kurang cerdas bila dibandingkan dengan anak-anak dari generasi sebelumnya. Soalnya kondisi kehidupan pada masa sekarang ini jauh lebih baik dari masa sebelumnya. Namun demikian, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa prestasi belajar anak-anak sekarang ini untuk beberapa bidang studi tertentu cukup memprihatinkan. Satu-satunya alasan yang bisa dipergunakan untuk menerangkan gejala ini adalah bahwa mereka kurang memiliki motivasi untuk belajar. Mereka pada umumnya kurang tekun, cepat menyerah kalau menghadapi kesulitan, dan lebih menyukai pelajaran yang mudah daripada pelajaran yang sukar. Oleh karena itu, adalah merupakan tanggung jawab semua lembaga pendidikan untuk menanamkan kesadaran kepada peserta didiknya akan pentingnya usaha dan kerja keras dalam belajar

4.Ringkasan dan Kesimpulan
Konsep dasar pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional te1ah dikemukakan. Demikian pula konteks sejarahnya. Sistem pendidikan nasional mempunyai peranan yang strategis dalam upaya meningkatkan kualitas sum-berdaya manusia Indonesia dimasa yang akan datang. Upaya pembangunan sistem pendidikan nasional yang dapat diandalkan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang seutuhnya merupakan suatu usaha besar yang cukup rumit pengaturan maupun pe-1aksanaannya, akan tetapi mempunyai fungsi yang sangat vital. 0leh karena itu penanganan masa1ah pendidikan harus dilakukan secara bersistem, karena tidak pernah akan tuntas kalau di1aksanakan oleh lembaga-1embaga pendidikan secara individual melalui cara-cara yang bersifat monolitik. Dengan perkataan lain, semua komponen sistem pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat, media massa ) harus berperan serta. Namun demikian, agar semua usaha tersebut dapat mencapai tujuannya secara rnaksimal, usaha-usaha tersebut perlu diatur melaiui suatu strategi nasional yang memiliki landasan yang kuat.
Melihat luasnya tujuan yang ingin dicapai, banyaknya komponen yang terlibat, serta terbatasnya sarana pendukung dalam proses pelaksanaannya, realisasi sistem pendidikan nasional tentu saja akan dihadapkan pada berbagai kendala. Namun demikian, landasan sistem pendidikan nasional telah diletakkan sebagai titik acuan dalam usaha melakukan pembenahan lebih lanjut.

Artikel Terkait

Manajemen Berbasis Sekolah
sumber: www.mgp-be.depdiknas.go.id/cms/upload/publikasi/m01u02a.pdf 





Administrasi dan Pengelolaan Sekolah MBS


sumber: pjj-vedca.depdiknas.go.id/pengawasan9/materi/10.MBS.pdf



Perumusan Manajemen Berbasis

sumber: media.diknas.go.id/media/document/4268.pdf

Profil

Zakaria ahmad lahir pada tanggal 8 September 1989 di Desa Sukajadi Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Anak dari Sumardi dan Hastuti. Sejak lahir diasuh dengan orangtua. Saya mempunyai tiga saudara kandung yaitu Yuda Hadisyahputra (kakak), Ardina Viralista (adik) dan Muhammad Haris Pratama (adik). Pendidikan dasar di SDN 104261 Desa Sukajadi tahun 1995, disamping mengenyam Sekolah Dasar juga mengenyam  Sekolah Agama Madrasah Ibtidaiyah Perbaungan tahun 1998,  setelah tamat melanjutkan ke Mts. Al-Washliyah Perbaungan tahun 2001, dan pendidikan menengah ke atas di SMK Melati-3 Perbaungan Jurusan Mekanik Otomotif tahun 2004. Dan sekarang sedang mengenyam pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Jurusan Teknik Mesin, Program Studi Pendidikan Teknik Mesin pada tahun 2008.

Kursus yang pernah diikuti pada tahun 2003 sampai dengan 2006 yaitu Bahasa Inggris dan Komputer di Forward English Course. Pengalaman organisasi yang pernah diikuti adalah  Osis SMK Melati-3 Perbaungan pada tahun 2005, Remaja Mesjid Al-Ikhlas Desa Sukajadi pada tahun 2006, dan sekarang aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Tenik Mesin UNJ. Pengalaman kerja yaitu di bengkel otomotif swasta pada tahun 2007 sampai dengan 2008. Pada tahun 2008 inilah saya melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri yakni Universitas Negeri Jakarta. 
Olahraga yang diminati volli. Prestasi yang pernah diraih adalah Juara II Perlombaan nasyid tingkat Kecamatan pada tahun 2007. Peringkat I di sekolah pada kelas II SMK, Peringkat I di Kursus Bahasa Inggris pada tahun 2005. Untuk olahraga yang dikonsentrasikan sekarang adalah latihan volli yang tergabung di Tim Organisasi Unit kegiatan Olahraga (UKO) UNJ.    
Buku yang digemari adalah teknologi terbaru otomotif, sains dan biografi.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)





Pengantar

Pernakah kamu mendengar kata peningkatan? Kalau belum bacalah kata pengantar ini dengan penuh imajinasi. Sewaktu kamu mendengar khutbah shalat jum`at bagi umat muslim, kalau bagi umat nonmuslim ya disesuaikan saja makna dari kata-kata penulis ya! Khatib mengatakan bahwa kita harus selalu meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Maksud dari kata ”meningkatkan” disini adalah banyak upaya yang telah dilakukan tetapi hasilnya belum begitu memuaskan karena masih ada permasalahan pada diri kita sehingga kita perlu memecahkan permasalahan tersebut dan terus berusaha untuk mengupayakan agar memperoleh hasil yang memuaskan. Penulis ingin mengadopsi konsep ”peningkatan ketaqwaan” menjadi ”peningkatan mutu pendidikan”. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun, hasilnya masih belum begitu memuaskan karena masih ada permasalahan yang terjadi di dalam manajemen sekolah. Dari berbagai studi dan pengamatan langsung di lapangan, hasil analisis menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata[1].


1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran pendidikan (output) terlalu memusatkan pada masukan (input) dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan[2]. Contohnya di lapangan banyak pihak lembaga pendidikan yang menginginkan menerima banyak peserta didik tanpa memperhatikan proses pendidikan yang dapat meningkatkan kualitas dari outputnya sehingga banyak lulusan-lulusan sekolah sukar dalam mendapatkan pekerjaan ataupun kurangnya jiwa-jiwa kemandirian dalam pengembangan diri.
2. Penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi[3].
3. Peran serta stake holder (pemangku kepentingan), masyarakat terutama orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peranserta mereka sangat penting di dalam proses-proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas[4].
Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka perlu adanya solusi untuk memecahkan maslalah tersebut. Dalam hal ini pemerintah sangat mempunyai kewajiban penuh untuk mengatasi masalah ini. Oleh karena itu pemerintah menerapkan sistem pendidikan dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).


Konsep Dasar MBS


Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional[5].
Tujuan MBS
  • Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah.
  • Mengoptimalkan sumber daya sekolah dan mensinergikan program peningkatan mutu pendidikan di level sekolah.
  • Meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada stakeholder.
  • Kompetisi yang sehat antar sekolah.
  • Meningkatkan motivasi.
Dengan menerapkan konsep MBS di sistem pendidikan maka sekolah menjadi :
1. Otonomi pendidikan. Dalam hal ini mencakup :
· Kemandirian. Sekolah menjadi mandiri dalam mengelola proses pendidikan yang serasi dan sesuai dengan situasi dan kondisi di lingkungannya.
· Pendayagunaan sumber. Sekolah mampu mengandalkan sumber dari apa yang ada di lingkungannya.
· Pemberdayaan masyarakat. Sekolah mampu memberikan kepercayaan penuh terhadap masyarakat atau pemangku kepentingan/stakeholder dalam mengambil keputusan, evaluasi dan akuntabilitas.
· Transparansi. Sekolah dapat terlihat akreditasinya. Selain itu dapat menciptakan persaingan yang sehat antar sekolah.
· Akuntabilitas. Pertanggungjawaban guru-guru dalam proses mengajar lebih transparan.
2. Ciri –ciri sekolah efektif, .mencakup :
· Visi, misi dan target yang jelas.
· Pengembangan staff. Sekolah mampu menciptakan staff yang pintar dan profesional.
· Evaluasi untuk perbaikan proses belajar mengajar.
· Menerapkan kurikulum konstruksifistik. Dalam hal ini siswa dituntut untuk mengeluarkan kemampuan yang ada, setelah itu belajar mencari yang lain. Maksudnya adalah melihat seberapa besar kemampuan siswa tersebut, setelah itu siswa baru mendapatkan ajaran yang baru.
· Pertisipasi orangtua dan masyarakat.
· Kepemimpinan kuat. Sekolah mempunyai kekuasaan gagasan.
· Tingkat harapan yang tinggi. 

Langkah MPMBS

Perlu adanya langkah-langkah untuk menjalnkan MBS agar terlaksana dengan baik, yang mencakup :
· Evaluasi diri (self assesment). Penilaian mencakup kelebihan, keterbatasan sekolah. Sehingga dapat menciptakan peluang strategi dalam pelaksanaannya.
· Perumusan visi, misi, target dan mutu yang jelas.
· Perencanaan program kegiatan. Hal ini mencakup apa yang akan dilakukan, mentargetkan, merencanakan kerjaan dan mengerjakan rencana tersebut.
· Monitoring dan evaluasi program
· Penerapan target mutu baru.

Kontrol pelaksanaan 


Selain ada langkah pelaksanaan, terdapat juga kontrol pelaksanaan agar hasillnya sesuai yang diinginkan, yang mencakup :
· Transparansi manajemen sekolah. Sekolah terlihat akreditasinya.
· Akuntabilitas.
· Bench marking. Dalam hal ini dapat mengevaluasi sesuatu baik internal maupun eksternal. Selain itu juga dapat mencari pesaing bagi peningkatan kualitas diri.

Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada. Ciri-ciri MBS, bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan SDM, proses belajar-mengajar dan sumber daya sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut:

Ciri-ciri sekolah yang melaksanakan MBS


*) Pada dasarnya kepemimpinan transformasional mempu nyai tiga komponen yang harus dimilikinya, yaitu:
  • memiliki kharisma yang didalamnya termuat perasaan cinta antara KS dan staf secara timbal-balik sehingga memberikan rasa aman, percaya diri, dan saling percaya dalam bekerja
  • memiliki kepekaan individual yang memberikan perhatian setiap staf berdasarkan minat dan kemampuan staf untuk pengembangan profesionalnya
  • memiliki kemampuan dalam memberikan simulasi intelektual terhadap staf. KS mampu mempengaruhi staf untuk berfikir dan mengembangkan atau mencari be rbagai alternatif baru.5

Dengan demikian, MBS yang akan dikembangkan merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tapi masih dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Tetapi semua ini harus mengakibatkan peningkatan proses belajar mengajar. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip MBS adalah sekolah yang harus lebih bertanggungjawab (high responsibility), kreatif dalam bertindak dan mempunyai wewenang lebih (more authority) serta da
pat dituntut pertanggungjawabannya oleh yang ber-kepentingan/tanggung gugat (public accountability by stake holders).

Secara ringkas perubahan pola manajemen pendidikan lama (konvensional) ke pola baru (MBS) dapat digambarkan sebagai berikut:






Diharapkan dengan menerapkan manajemen pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal berikut:
  • menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut

  • mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan “input” pendidikan yang akan dikembangkan
  • mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya
  • bertanggungjawab terhadap orangtua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelengaraan sekolah
  • persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif-inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan.

Hasil rumusan yang dihasilkan peserta kemungkinan sangat banyak dan bervariasi. Pada akhir diskusi, fasilitator bersama-sama peserta mencoba mengklasifikasi dan menggabungkan rumusan yang sejenis sehingga diperoleh ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah. Misalnya:
  • Upaya meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk mendukung kinerja sekolah
  • Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (kurikulum), bukan kepentingan administratif saja.
  • Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil dan fasilitas)
  • Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
  • Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat.
  • Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.
  • Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang.
  • Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat,dll).
  • Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah.



1Miftah Thoha, Ph.D. "Desentralisasi Pendidikan", Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.

2NCREL, 1995, "Decentralization: Why, How, and Toward What Ends?" NCREL’s Policy Briefs, report 1, 1993 dalam Nuril Huda "Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya", Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.

3Gaynor, Cathy (1998) "Decentralization of Education: Teacher management" Washington, DC: World Bank, dalam Nuril Huda "Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya", Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.


4Donoseputro, M (1997) "Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Upaya Pencapaian Tujuan Pendidikan: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Alat Pemersatu Bangsa", Suara Guru 4: 3-6.

5Burns, J.M (1978) Leadership Harper & Row, New York dalam Rumtini (1977) Transformational and Transactional Leadership Performance of Principals of Junior Secondary School in Indonesia, unpublished thesis.

[1] www.mbs-sd.org/isi.php?id=11

[2] www.mbs-sd.org/isi.php?id=11

[3] www.mbs-sd.org/isi.php?id=11

[4] www.mbs-sd.org/isi.php?id=11

[5] www.mbs-sd.org/isi.php?id=11